Rabu, 26 Oktober 2016

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI


OBJEK PAJAK
Pasal 4 (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009)

 (1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
  • a.    penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
  • b.    impor Barang Kena Pajak;
  • c.    penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
  • d.    pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  • e.    pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  • f.     ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
  • g.    ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
  • h.    ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.


(2) Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 16C (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000)

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 16C :
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan pertimbangan untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Untuk melindungi masyarakat yang berpenghasilan rendah dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, maka diatur batasan kegiatan membangun sendiri dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Pasal 16D (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009)

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.

Penjelasan Pasal 16D :
Penyerahan Barang Kena Pajak, antara lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan, atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai pajak. Namun, Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.

Pengertian Pengusaha Kecil dalam PPN

Pengusaha Kecil dalam PPN adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah).

Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto adalah jumlah keseluruhan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya.

Pengusaha Kecil
 tersebut tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.

Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak biasanya Pengusaha yang mempunyai kegiatan usaha penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada :
  • Bendahara Pemerintah sebagai pemungut PPN.
  • BUMN sebagai pemungut PPN.
  • Perusahaan swasta yang menghendaki adanya Pajak Masukan.

Pengusaha Kecil yang dalam satu tahun buku atau kalender mempunyai Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto lebih dari  Rp 4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah) mempunyai kewajiban untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Minggu, 23 Oktober 2016

HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PAJAK

Setiap pemotong PPh 21 wajib mengisi dan menyampaikan SPT Masa dan SPT Tahunan. Hak dan kewajiban pemotong pajak adalah sebagai berikut:
1.    Pemotong pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran PPh 21 dalam satu bulan takwin dengan PPh 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
2.    Pemotong Pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran pada SPT Tahunan dengan PPh 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukan perhitungan tahunan dan jika masih ada sisa kelebihan, maka diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya.
3.    Pemotong pajak berhak membetulkan sendiri SPT atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
4.    Pemotong Pajak berhak untuk mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil Kurang Bayar.
5.    Pemotong Pajak berhak mengajukan permononan banding secara tertulis dalam dengan alasan yang jelas kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Permohonan banding ini dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan diterima, dilampiri dengan salinan surat keputusan tersebut.
6.    Pemotong pajak dapat mengajukan permohonan untuk mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pasal 21. Permohonan diajukan secara tertulis selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak disertai surat pernyataan mengenai perhitungan sementara PPh 21 yang terutang dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran PPh 21 yang terutang untuk tahun takwin yang bersangkutan.
7.    Setiap pemotong pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Kewajiban sebagai pemotong pajak berlaku juga terhadap organisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
8.    Pemotong pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
9.    Pemotong pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh 21 yang terutang untuk setiap bulan takwim. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah, atau Bank-bank lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya. Saat ini menggunakan e-billing
10.  Pemotong pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya. Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh 21, maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
11.  Pemotong pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerimaan uang tembusan pensiun, penerimaan Jaminan Hari Tua, penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun.
12.  Pemotong pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh 21 Tahunan kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir. Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka bukti pemotongan diberikan oleh pemberi pekerja selambat-lambatnya 1 bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
13.  Dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir, pemotong pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerimaan pensiun bulanan menurut tarif yang berlaku.
14.  Setiap pemotong pajak wajib mengisi, menandatangani dan menyampaikan SPT Tahunan PPh 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Surat Pemberitahuan Tahun PPh 21 harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi pemotong pajak yang tahun pajak atau tahun bukunya tidak sama dengan tahun takwim.
15.  Pemotong pajak wajib menyetor kekurangan PPh 21 yang berutang apabila jumlah PPh 21 yang terutang dalam suatu tahun takwim lebih besar daripada PPh 21 yang telah disetor. Penyetoran tersebut harus dilakukan sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh 21 selambat-lambatnya pada tanggal 25 Maret tahun takwim berikutnya.
16.  Pemotong pajak wajib melampiri SPT Tahunan PPh 21 dengan lampiran-lampiran yang ditentukan dalam Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh 21 untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.


PEMOTONG PPH PASAL 21

Jika pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka bukti pemotongan diberikan oleh pemberi pekerja selambat-lambatnya 1 bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
Para pemotongan PPh 21 adalah:
1.    Pemberi Kerja yang terdiri dari orang pribadi maupun badan, yang merupakan induk, cabang, perwakilan atau unit perusahaan, yang membayar atau terutang gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun (mis: bonus, tunjangan, tantiem, dll), sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai. Sedangkan yang dimaksud bukan pegawai adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium.
2.    Bendahara Pemerintah termasuk bendahara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga Negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri.
3.    Dana Pensiun atau badan lain(misalnya badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja) yang memberi uang pensiun, tunjangan hari tua, dan tabungan hari tua.
4.    Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta Badan yang Membayar: honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak Dalam Negeri dan Luar Negeri, dan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatih, dan magang.
5.    Penyelenggara Kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lain yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah dan penghargaan dalam bentuk apapun kepada WP Dalam Negeri orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.