PERPAJAKAN
Jumat, 30 Maret 2018
Rabu, 26 Oktober 2016
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
OBJEK
PAJAK
Pasal
4 (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009)
(1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
- a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
- b. impor Barang Kena Pajak;
- c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
- d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
- e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
- f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
- g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
- h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
(2)
Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas
ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf h diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal
16C (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000)
Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan
tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang
hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata
caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 16C :
Kegiatan
membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya,
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan pertimbangan untuk mencegah terjadinya
penghindaran pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Untuk melindungi masyarakat
yang berpenghasilan rendah dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan
membangun sendiri, maka diatur batasan kegiatan membangun sendiri dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal
16D (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009)
Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena
Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
Penjelasan Pasal 16D :
Penyerahan
Barang Kena Pajak, antara lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan,
atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai pajak. Namun, Pajak
Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaraan bermotor
berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b
dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat
dikreditkan.
Pengertian Pengusaha Kecil dalam PPN
Pengusaha
Kecil dalam PPN adalah pengusaha yang selama satu tahun buku
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah
peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4.800.000.000,00
(empat milyar delapan ratus juta rupiah).
Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto adalah jumlah keseluruhan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya.
Pengusaha Kecil tersebut tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.
Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha
Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak biasanya
Pengusaha yang mempunyai kegiatan usaha penyerahan Barang Kena Pajak dan atau
Jasa Kena Pajak kepada :
- Bendahara Pemerintah sebagai pemungut PPN.
- BUMN sebagai pemungut PPN.
- Perusahaan swasta yang menghendaki adanya Pajak Masukan.
Pengusaha
Kecil yang dalam satu tahun buku atau kalender mempunyai Jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan bruto lebih dari Rp 4.800.000.000,00 (empat
milyar delapan ratus juta rupiah) mempunyai kewajiban untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
Minggu, 23 Oktober 2016
HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PAJAK
Setiap pemotong PPh 21 wajib mengisi dan menyampaikan
SPT Masa dan SPT Tahunan. Hak dan kewajiban pemotong pajak adalah sebagai
berikut:
1.
Pemotong pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan
setoran PPh 21 dalam satu bulan takwin dengan PPh 21 yang terutang pada bulan
berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
2.
Pemotong Pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan
setoran pada SPT Tahunan dengan PPh 21 yang terutang untuk bulan pada waktu
dilakukan perhitungan tahunan dan jika masih ada sisa kelebihan, maka
diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya.
3.
Pemotong pajak berhak membetulkan sendiri SPT atas
kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2
tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau Tahun
Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan.
4.
Pemotong Pajak berhak untuk mengajukan surat keberatan
kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Nihil Kurang Bayar.
5.
Pemotong Pajak berhak mengajukan permononan banding
secara tertulis dalam dengan alasan yang jelas kepada badan peradilan pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak. Permohonan banding ini dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak
keputusan diterima, dilampiri dengan salinan surat keputusan tersebut.
6.
Pemotong pajak dapat mengajukan permohonan untuk
mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan
Pasal 21. Permohonan diajukan secara tertulis selambat-lambatnya tanggal 31
Maret tahun takwim berikutnya dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh
Direktur Jenderal Pajak disertai surat pernyataan mengenai perhitungan
sementara PPh 21 yang terutang dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran PPh 21
yang terutang untuk tahun takwin yang bersangkutan.
7.
Setiap pemotong pajak wajib mendaftarkan diri ke
Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Kewajiban sebagai
pemotong pajak berlaku juga terhadap organisasi internasional yang tidak
dikecualikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
8.
Pemotong pajak mengambil sendiri formulir-formulir
yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor
Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
9.
Pemotong pajak wajib menghitung, memotong, dan
menyetorkan PPh 21 yang terutang untuk setiap bulan takwim. Penyetoran pajak
dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau Bank
Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah, atau Bank-bank
lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran, selambat-lambatnya tanggal
10 bulan takwim berikutnya. Saat ini
menggunakan e-billing
10. Pemotong
pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut sekalipun nihil dengan menggunakan
Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan
Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya.
Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh 21, maka
kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh 21 yang terutang pada bulan
berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
11. Pemotong
pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh 21 baik diminta maupun tidak pada
saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai
tetap, penerimaan uang tembusan pensiun, penerimaan Jaminan Hari Tua, penerima
uang pesangon, dan penerima dana pensiun.
12. Pemotong
pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh 21 Tahunan kepada pegawai tetap,
termasuk penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan
oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir.
Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim,
maka bukti pemotongan diberikan oleh pemberi pekerja selambat-lambatnya 1 bulan
setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
13. Dalam
waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir, pemotong pajak berkewajiban
menghitung kembali jumlah PPh 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan
penerimaan pensiun bulanan menurut tarif yang berlaku.
14. Setiap
pemotong pajak wajib mengisi, menandatangani dan menyampaikan SPT Tahunan PPh
21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak terdaftar atau Kantor
Penyuluhan Pajak setempat. Surat Pemberitahuan Tahun PPh 21 harus disampaikan
selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya. Ketentuan tersebut
berlaku juga bagi pemotong pajak yang tahun pajak atau tahun bukunya tidak sama
dengan tahun takwim.
15. Pemotong
pajak wajib menyetor kekurangan PPh 21 yang berutang apabila jumlah PPh 21 yang
terutang dalam suatu tahun takwim lebih besar daripada PPh 21 yang telah
disetor. Penyetoran tersebut harus dilakukan sebelum penyampaian SPT Tahunan
PPh 21 selambat-lambatnya pada tanggal 25 Maret tahun takwim berikutnya.
16. Pemotong
pajak wajib melampiri SPT Tahunan PPh 21 dengan lampiran-lampiran yang ditentukan
dalam Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh 21 untuk Tahun Pajak yang
bersangkutan.
PEMOTONG PPH PASAL 21
Jika
pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka
bukti pemotongan diberikan oleh pemberi pekerja selambat-lambatnya 1 bulan
setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
Para pemotongan PPh 21 adalah:
1.
Pemberi Kerja yang
terdiri dari orang pribadi maupun badan, yang merupakan induk, cabang,
perwakilan atau unit perusahaan, yang membayar atau terutang gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun (mis: bonus,
tunjangan, tantiem, dll), sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai. Sedangkan yang dimaksud
bukan pegawai adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan
dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis
yang menerima atau memperoleh honorarium.
2.
Bendahara Pemerintah termasuk
bendahara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga
pemerintah, lembaga-lembaga Negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik
Indonesia di luar negeri.
3.
Dana Pensiun atau
badan lain(misalnya badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja) yang memberi
uang pensiun, tunjangan hari tua, dan tabungan hari tua.
4.
Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta Badan yang Membayar: honorarium
atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan
yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak Dalam Negeri dan
Luar Negeri, dan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan,
pelatih, dan magang.
5.
Penyelenggara Kegiatan, termasuk
badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan,
orang pribadi, serta lembaga lain yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar
honorarium, hadiah dan penghargaan dalam bentuk apapun kepada WP Dalam Negeri
orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.
Selasa, 04 Oktober 2016
Langganan:
Postingan (Atom)